Sejarah Pertanian Indonesia

     

               Dalam sejarah Indonesia, kegiatan pertanian dibagi menjadi beberapa zaman dengan beberapa jejak yang masih dapat diamati di beberapa bagian nusantara. Masyarakat pemburu-pengumpul masih ada di pedalaman Kalimantan (Borneo Indonesia) dan Papua (Indonesia Nugini) seperti orang Kombai, sementara mereka adalah komunitas penggarap padi yang canggih, sisa-sisa pemerintahan Hindu-Buddha masih bisa diamati di Bali melalui sistem irigasi subak mereka. Adapun zaman-zaman tersebut adalah :

1. Zaman Pra-sejarah
                Pertanian di Indonesia dimulai sebagai sarana untuk menanam dan menyediakan makanan. Beras, kelapa, aren, talas, umbi-umbian, bawang merah dan buah-buahan tropis termasuk di antara hasil-hasil paling awal yang dibudidayakan di nusantara. Bukti budidaya padi di pulau Sulawesi berasal dari 3000 SM. Beras telah menjadi makanan pokok bagi orang Indonesia selama ribuan tahun dan memiliki tempat utama dalam budaya dan masakan Indonesia.

Pentingnya beras dalam budaya Indonesia ditunjukkan melalui penghormatan Dewi Sri, dewi padi Jawa kuno dan Bali. Secara tradisional, siklus pertanian yang terkait dengan penanaman padi dirayakan melalui ritual, seperti Sunda Seren Taun atau "festival panen padi." Di Bali, sistem irigasi subak tradisional dibuat untuk memastikan bahwa ada pasokan air yang cukup untuk sawah. Sistem irigasi dikelola oleh para imam dan dibuat di sekitar "kuil air". Arsitektur vernakular Indonesia juga mengakui jumlah lumbung atau gaya lumbung padi, seperti sapu Sunda, lumbung padi gaya Sasak, bentuk tongkonan Toraja, hingga rangkiang Minangkabau. Penanaman padi membentuk lanskap, dijual di pasar, dan disajikan di sebagian besar makanan.

Sementara beberapa panel relief di dinding candi, seperti Borobudur dan Prambanan, menggambarkan kegiatan pertanian, prasasti batu Jawa yang dapat ditelusuri kembali dari abad ke-8, menggambarkan raja menempatkan retribusi pada beras. Di samping padi, relief Borobudur juga menggambarkan produk pertanian asli lainnya, seperti pisang (musa paradisiaca), kelapa (Cocos nucifera), tebu (Saccharum officinarum '), apel Jawa (Syzygium samarangense), nangka (Artocarpus heterophyllus) , durian (Durio zibethinus) dan manggis (Mangifera indica). 

Kerajaan lokal di Indonesia termasuk di antara pemerintahan paling awal untuk berpartisipasi dalam perdagangan rempah-rempah global. Kerajaan maritim kuno Sriwijaya (abad 7 hingga 11) dan Majapahit (abad ke-13 sampai abad ke-15) misalnya, secara aktif terlibat dalam perdagangan rempah-rempah dengan Cina, India dan Timur Tengah. Pelabuhan Sunda dan Banten merupakan pusat perdagangan lada yang penting pada abad ke 14-17.

2.Zaman penjajahan
           Bumbu-bumbu Indonesia endemik tertentu seperti pala yang berasal dari Kepulauan Banda dan cengkeh sangat dicari di Barat, dan mendorong Zaman Eksplorasi Eropa. Orang Portugis adalah orang Eropa paling awal yang mendirikan kehadiran mereka di nusantara pada awal abad ke-16. Portugis, melalui perantara Spanyol, memperkenalkan produk-produk Dunia Baru seperti cabai, jagung, pepaya, kacang tanah, kentang, tomat, karet dan tembakau ke tanah nusantara.

            Lonjakan perdagangan rempah-rempah global adalah apa yang menyebabkan pedagang Eropa mencapai kepulauan Indonesia yang mencari sumber langsung rempah-rempah berharga, pada saat yang sama, memotong melalui perantara di Asia (Arab dan pedagang India) dan di Eropa (pedagang Italia) . Pada awal abad ke-17, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) mulai membangun pengaruhnya di dalam nusantara, dengan membangun kantor perdagangan, gudang dan benteng di Amboina dan Batavia. Saat itu, VOC memonopoli perdagangan komoditas rempah-rempah, terutama lada dan pala, dan secara aktif mengejar sahamnya dalam perdagangan intra-Asia dengan India dan Cina. VOC mendirikan perkebunan gula lebih lanjut di Jawa.

        Pada pergantian abad ke-19, VOC dinyatakan bangkrut dan dinasionalisasi oleh Belanda sebagai Hindia Belanda. Peristiwa ini secara resmi menandai periode kolonial Belanda di nusantara. Pada pertengahan abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda menerapkan cultuurstelsel yang mensyaratkan sebagian lahan produksi pertanian untuk dikhususkan untuk mengekspor hasil bumi. Sistem budidaya diberlakukan di Jawa dan bagian lain di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda antara tahun 1830 dan 1870. Para sejarawan Indonesia menyebutnya sebagai Tanam Paksa ("Penanaman Penegakan"). Belanda memperkenalkan sejumlah hasil bumi dan komoditas untuk menciptakan dan membangun mesin ekonomi di koloninya. Pendirian perkebunan tebu, kopi, teh, tembakau, kina, karet dan kelapa sawit juga diperluas di koloni.

    Selama era Hindia Belanda, sektor pertanian diatur oleh Departemen van Landbouw (1905), Departemen van Landbouw, Nijverheid en Handel (1911) dan Departemen van Ekonomische Zaken (1934).

3.Zaman Republik
Pada tahun 1942, Hindia Belanda jatuh di bawah kendali Kekaisaran Jepang. Selama pendudukan Jepang, sektor pertanian diawasi oleh Gunseikanbu Sangyobu. Selama Perang Dunia II (1942-1945), Hindia mengalami kesulitan yang meliputi kelangkaan pertanian dan kelaparan. Hasil padi dan komoditas perkebunan dikendalikan oleh otoritas militer kekaisaran Jepang. Bisnis perkebunan yang merupakan sektor ekonomi utama, relatif ditutup selama Perang Pasifik dan perang kemerdekaan Indonesia berikutnya (1945-1949). Semua upaya di sektor pertanian difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan (beras) dan pakaian (kapas). Otoritas Kekaisaran Jepang berusaha meningkatkan produksi beras dan kapas di Hindia yang diduduki dengan memobilisasi tenaga kerja. Namun, kelangkaan komoditas-komoditas penting ini berlaku dan mengakibatkan kekurangan makanan dan kelaparan.

Republik Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Indonesia menjadi anggota Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 1948. Kemitraan ini diperkuat dengan pembukaan kantor negara FAO pada tahun 1978. Sektor pertanian republik telah diawasi dan diatur oleh Kementerian Pertanian Indonesia. Republik Indonesia juga menasionalisasi banyak infrastruktur ekonomi kolonial, lembaga dan bisnis dan mewarisi sistem pertanian pendahulunya, Hindia Belanda.

Pada 1960-an hingga 1980-an, republik melakukan segala upaya untuk mengembangkan sektor pertanian pasca-perang dan mengarah pada ekspansi signifikan sektor ini. Selama era Suharto, pemerintah meluncurkan program transmigrasi yang memindahkan para petani tak bertanah dari Jawa yang overpopulasi ke Sumatera yang kurang padat penduduk, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, sehingga memperluas pertanian pertanian di pulau-pulau terluar dari wilayah tersebut.

Indikator pertumbuhan yang paling signifikan adalah ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang menjadi bentuk baru program transmigrasi. Saat ini, Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dan produsen utama kopi, karet dan kakao. Namun, Indonesia masih memiliki lahan luas lahan kosong yang berpotensi dikembangkan ke lahan pertanian. Ini mencakup 40 juta hektar kawasan hutan terdegradasi yang telah berubah menjadi padang rumput setelah ditinggalkan oleh pemegang konsesi penebangan.

Komoditas pertanian dikenal karena ketahanan ekonominya dan merupakan salah satu yang pertama pulih dari dampak krisis keuangan global. Dengan sejumlah besar penduduknya masih bekerja di segmen pertanian, Indonesia memiliki potensi besar untuk menarik investasi asing.


0 comments